Friday, December 18, 2009

Potret Buram Dunia Baca Indonesia

Komunikasi merupakan bagian yang tidak bisa lepas dan sudah menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya komunikasi, setiap individu tidak akan bisa menyiratkan keinginan ataupun informasi kepada individu lain. Kegiatan komunikasi tidak hanya informatif (agar pihak lain mengerti dan tahu) tetapi persuasif (agar pihak lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan). Secara sadar ataupun tidak sadar, kita sekarang hidup para era propaganda. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Lihatlah sekeliling kita pada saat ini, dimana media massa menjadi suatu kebutuhan bagi kita. Bagaimana tidak jika setiap hari kita duduk menonton kemudian diterpa oleh berbagai acara televisi yang kelihatannya mendidik tetapi dalam berbagai hal sangat tidak mendidik. Pembodohan yang dilakukan oleh media memberikan kita sebuah presepsi bahwa informasi yang diberikan adalah benar padahal hal tersebut belum tentu benar.
Mungkin memang terlihat susah untuk melihat hal yang tidak tampak dalam media televisi, tetapi kita sebaliknya harus mempunyai suatu sikap yang wahib hukumnya dimiliki oleh wartawan yaitu skeptis. Ragukan segala hal kecuali itu sudah ada konfirmasi dalam penerimaan informasi di media massa. Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan sikap ini? Jawabannya gampang, yaitu melalui membaca untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan.
Propaganda memang sempat terjadi pada masa orde baru dalam era kepemimpinan Soeharto, tetapi apakah itu sudah selesai sampai era kejatuhan Soeharto? Tentu saja tidak, propaganda masih saja terus berlanjut hingga saat ini. Berbagai macam media baik cetak ataupun elektronik masih melakukan tindakan penyiaran yang membodohi masyarakat. Bermacam-macan “reality show” ataupun sinetron yang kerap menjadi tontonan keluarga memberikan sebuah presepsi yang salah dan dampaknya masyarakat yang selalu menjadi korban. Kita diserang oleh ratusan rangsangan yang dirancang untuk menimbulkan perubahan pada sikap dan perilaku kita. Salah satu media yang mempengaruhi sekali lagi adalah sebuah film, dimana selalu diselipkan maksud tertentu dalam setiap gambar, gerakan, dan alur cerita yang seakan-akan menghibur. Apakah anda ingat dengan kejadian seorang anak meninggal karena menirukan adegan dari acara “Smack Down” ataupun film kartun “Naruto”, lantas siapakah yang patut kita salahkan? Sama halnya dengan dua contoh diatas, pembodohan masyarakat masih terjadi sampai saat ini. Hal ini terjadi karena pengetahuan kita akan sesuatu amat sangat kurang.
Bagi bangsa Indonesia, tradisi membaca sesungguhnya memiliki legitimasi historis. Para tokoh pendiri Republik ini adalah sosok-sosok yang memiliki kegandrungan luar biasa terhadap buku. Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Agus Salim, dan tokoh lainnya adalah tokoh-tokoh yang kutu buku. Mereka besar bukan sekadar karena sejarah pergerakan politiknya, tetapi mereka juga dikenal karena kualitas intelektualnya yang dibangun melalui membaca buku. Sayangnya tradisi membaca yang telah ditunjukkan oleh para founding fathers kita tidak terwarisi secara baik oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Tradisi membaca yang diperlihatkan oleh para tokoh pergerakan dan telah ikut mengantarkan kemerdekaan ini diletakkan sebatas kenangan sejarah masa lalu. Dunia hiburan menjadi menu utama dalam kehidupan masyarakat. Unesco, pada tahun 1973 Indonesia mengalami masa buram dunia baca ketika tak satu pun buku terbit pada tahun itu. Itulah masa peceklik buku di negeri ini, sehingga melengkapi potret buram dimana media yang melakukan propaganda melumat habis budaya terhadap dunia baca pada masyarakat kita.

Sunday, November 29, 2009

UNAS??

Sewaktu baca koran tentang UNAS yang bakal ditiadakan, aku langsung kaget. Perasaan senang dan kecewa bercampur menjadi satu. Senang karena selama ini aku memang ngerasa UNAS itu nggak fair untuk beberapa pihak. Tapi juga kecewa, kenapa kok baru tahun ajaran 2009-2010 yang UNAS nya ditiadakan. Kenapa bukan waktu tahun ajaranku aja yang ditiadakan. Kalo inget jaman-jaman waktu mau UNAS tu emang mengerikan banget.

3 bulan sebelum UNAS full ikutan kursus. Soal yang dibuat latihan juga begitu-begitu aja. Sampai uda sangat hafal dengan jenis soalnya. Semua buku-buku latihan UNAS pun habis dilahap. Berbagai macam try out juga rajin diikutin.
Try out dari sekolah, dari lembaga bimbel, sampai try out dari negara. Hasilnya sih lumayan. Karena itu, walaupun tetap ada perasaan takut, aku juga optimis waktu mau mengikuti UNAS. Kunci jawaban beredar dimana-mana.
Harganya pun termasuk terjangkau karena patungan sama anak-anak sekolah lain. Sempat kepikiran buat beli kunci jawaban.
Tapi aku ngerasa optimmis pasti bisa karena udah seri latihan dan hasil try out ku juga dibilang lumayan.
Hari pertama, bahasa Indonesia, setelah itu bahasa Inggris, aku berhasil ngerjainnya. Hari ketiga, Geografi.
Kaya mimpi buruk. Karena soal yang dikasi sama Diknas benar-benar beda sama kisi-kisi nya, apalagi sama try out nya, try out negara sekalipun. Soal yang dikeluarin benar-benar jauh dari materi yang selama ini dikasih. Selesai ngerjain UNAS, banyak temen-temen aku yang nangis ketakutan karena takut ngga lulus.
Mereka ngga yakin ngerjainnya.

Sementara teman-teman aku yang beli soal, mereka ngga memusingkan hal itu. Toh mereka sudah dapat jawaban pastinya. Anak-anak yang belajar mulai ngerasa ngga adil kalo sampai mereka ngga lulus karena mereka belajar dan ngga membeli kunci jawaban. Karena pada saat itu, soal yang bakal keluar bener-bener unpredictable.
Kisi-kisi dan soal try out udah ngga bisa dijadikan pegangan lagi. Sementara itu UNAS matematika,ekonomi-akutansi belum dilewati. Bisa dibilang dua bidang studi itu terhitung berat.

Mulai terpikir buat beli kunci jawaban.
Karena kalo sampai ngga lulus karena belajar, tapi temen-temen yang beli kunci jawaban lulus dengan hasil yang memuaskan tentu bakal sangat menyakitkan. Setelah itu banyak kabar yang bilang kalo sekolah Negeri dapat bocoran dari dalam karena pemerintah ngga mau sekolah negeri kalah saing dengan sekolah swasta.


Tentu ini merugikan sekolah-sekolah swasta. Sehingga banyak yang berpikir ngambil jalan pintas untuk beli soal. Karena itu, aku pribadi ngga setuju kalo UNAS dijadikan patokan kelulusan. Tiap sekolah memiliki fasilitas gedung, bahkan staff pengajar yang berbeda. Juga sekolah-sekolah di pedalaman, tentu tidak bisa disetarakan dengan dekolah-sekolah di perkotaan yang tentu saja kurikulum cara belajarnya lebih maju. Selain itu kelulusan juga tidak bisa dijadikan patokan.
Karena banyak pelajar yang lulus karena beli kunci jawaban atau bahkan membeli ijazah. Sedangkan pelajar yang belajar ternyata tidak lulus hanya karena jatuh di satu mata pelajaran. Integritas pelajar tidak bisa dipertanggung jawabkan hanya dari selembar ijazah. Oleh karena itu semoga pemerintah bisa dengan cepat membenahi sistem pendidikan di negeri kita tercinta, Indonesia..