Komunikasi merupakan bagian yang tidak bisa lepas dan sudah menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya komunikasi, setiap individu tidak akan bisa menyiratkan keinginan ataupun informasi kepada individu lain. Kegiatan komunikasi tidak hanya informatif (agar pihak lain mengerti dan tahu) tetapi persuasif (agar pihak lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan). Secara sadar ataupun tidak sadar, kita sekarang hidup para era propaganda. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Lihatlah sekeliling kita pada saat ini, dimana media massa menjadi suatu kebutuhan bagi kita. Bagaimana tidak jika setiap hari kita duduk menonton kemudian diterpa oleh berbagai acara televisi yang kelihatannya mendidik tetapi dalam berbagai hal sangat tidak mendidik. Pembodohan yang dilakukan oleh media memberikan kita sebuah presepsi bahwa informasi yang diberikan adalah benar padahal hal tersebut belum tentu benar.
Mungkin memang terlihat susah untuk melihat hal yang tidak tampak dalam media televisi, tetapi kita sebaliknya harus mempunyai suatu sikap yang wahib hukumnya dimiliki oleh wartawan yaitu skeptis. Ragukan segala hal kecuali itu sudah ada konfirmasi dalam penerimaan informasi di media massa. Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan sikap ini? Jawabannya gampang, yaitu melalui membaca untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan.
Propaganda memang sempat terjadi pada masa orde baru dalam era kepemimpinan Soeharto, tetapi apakah itu sudah selesai sampai era kejatuhan Soeharto? Tentu saja tidak, propaganda masih saja terus berlanjut hingga saat ini. Berbagai macam media baik cetak ataupun elektronik masih melakukan tindakan penyiaran yang membodohi masyarakat. Bermacam-macan “reality show” ataupun sinetron yang kerap menjadi tontonan keluarga memberikan sebuah presepsi yang salah dan dampaknya masyarakat yang selalu menjadi korban. Kita diserang oleh ratusan rangsangan yang dirancang untuk menimbulkan perubahan pada sikap dan perilaku kita. Salah satu media yang mempengaruhi sekali lagi adalah sebuah film, dimana selalu diselipkan maksud tertentu dalam setiap gambar, gerakan, dan alur cerita yang seakan-akan menghibur. Apakah anda ingat dengan kejadian seorang anak meninggal karena menirukan adegan dari acara “Smack Down” ataupun film kartun “Naruto”, lantas siapakah yang patut kita salahkan? Sama halnya dengan dua contoh diatas, pembodohan masyarakat masih terjadi sampai saat ini. Hal ini terjadi karena pengetahuan kita akan sesuatu amat sangat kurang.
Bagi bangsa Indonesia, tradisi membaca sesungguhnya memiliki legitimasi historis. Para tokoh pendiri Republik ini adalah sosok-sosok yang memiliki kegandrungan luar biasa terhadap buku. Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Agus Salim, dan tokoh lainnya adalah tokoh-tokoh yang kutu buku. Mereka besar bukan sekadar karena sejarah pergerakan politiknya, tetapi mereka juga dikenal karena kualitas intelektualnya yang dibangun melalui membaca buku. Sayangnya tradisi membaca yang telah ditunjukkan oleh para founding fathers kita tidak terwarisi secara baik oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Tradisi membaca yang diperlihatkan oleh para tokoh pergerakan dan telah ikut mengantarkan kemerdekaan ini diletakkan sebatas kenangan sejarah masa lalu. Dunia hiburan menjadi menu utama dalam kehidupan masyarakat. Unesco, pada tahun 1973 Indonesia mengalami masa buram dunia baca ketika tak satu pun buku terbit pada tahun itu. Itulah masa peceklik buku di negeri ini, sehingga melengkapi potret buram dimana media yang melakukan propaganda melumat habis budaya terhadap dunia baca pada masyarakat kita.
Mungkin memang terlihat susah untuk melihat hal yang tidak tampak dalam media televisi, tetapi kita sebaliknya harus mempunyai suatu sikap yang wahib hukumnya dimiliki oleh wartawan yaitu skeptis. Ragukan segala hal kecuali itu sudah ada konfirmasi dalam penerimaan informasi di media massa. Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan sikap ini? Jawabannya gampang, yaitu melalui membaca untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan.
Propaganda memang sempat terjadi pada masa orde baru dalam era kepemimpinan Soeharto, tetapi apakah itu sudah selesai sampai era kejatuhan Soeharto? Tentu saja tidak, propaganda masih saja terus berlanjut hingga saat ini. Berbagai macam media baik cetak ataupun elektronik masih melakukan tindakan penyiaran yang membodohi masyarakat. Bermacam-macan “reality show” ataupun sinetron yang kerap menjadi tontonan keluarga memberikan sebuah presepsi yang salah dan dampaknya masyarakat yang selalu menjadi korban. Kita diserang oleh ratusan rangsangan yang dirancang untuk menimbulkan perubahan pada sikap dan perilaku kita. Salah satu media yang mempengaruhi sekali lagi adalah sebuah film, dimana selalu diselipkan maksud tertentu dalam setiap gambar, gerakan, dan alur cerita yang seakan-akan menghibur. Apakah anda ingat dengan kejadian seorang anak meninggal karena menirukan adegan dari acara “Smack Down” ataupun film kartun “Naruto”, lantas siapakah yang patut kita salahkan? Sama halnya dengan dua contoh diatas, pembodohan masyarakat masih terjadi sampai saat ini. Hal ini terjadi karena pengetahuan kita akan sesuatu amat sangat kurang.
Bagi bangsa Indonesia, tradisi membaca sesungguhnya memiliki legitimasi historis. Para tokoh pendiri Republik ini adalah sosok-sosok yang memiliki kegandrungan luar biasa terhadap buku. Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Agus Salim, dan tokoh lainnya adalah tokoh-tokoh yang kutu buku. Mereka besar bukan sekadar karena sejarah pergerakan politiknya, tetapi mereka juga dikenal karena kualitas intelektualnya yang dibangun melalui membaca buku. Sayangnya tradisi membaca yang telah ditunjukkan oleh para founding fathers kita tidak terwarisi secara baik oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Tradisi membaca yang diperlihatkan oleh para tokoh pergerakan dan telah ikut mengantarkan kemerdekaan ini diletakkan sebatas kenangan sejarah masa lalu. Dunia hiburan menjadi menu utama dalam kehidupan masyarakat. Unesco, pada tahun 1973 Indonesia mengalami masa buram dunia baca ketika tak satu pun buku terbit pada tahun itu. Itulah masa peceklik buku di negeri ini, sehingga melengkapi potret buram dimana media yang melakukan propaganda melumat habis budaya terhadap dunia baca pada masyarakat kita.